Rasa Budaya Di Malioboro Jogja

Budaya Di Malioboro Jogja

Berbicara mengenai Malioboro adalah soal budaya . Pada Malioboro kita tidak sekadar menyaksikan denyut dinamika transaksi ekonomi yang menghidupi banyak orang di atas trotoar, di sepanjang kedua sisi jalan itu. Lebih dari itu, Malioboro adalah episentrum perjumpaan dan transaksi sosial antara manusia dan budaya dari berbagai penjuru dunia dengan masyarakat dan budaya Jogja.

Malioboro adalah salad bowl multikulturalisme yang membentuk cita rasa khas Kota Jogja. Rasa Malioboro adalah rasa yang membedakan kota Jogja dari kota-kota lain. Malioboro adalah ikon dan etalase budaya terdepan masyarakat dan Kota Jogja.

Agenda menjadikan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian adalah salah satu cara di antara banyak alternatif untuk menjadikan Malioboro menjadi milik bersama.

Malioboro pertama-tama harus menjadi tempat perjumpaan antar manusia dan wahana pembelajaran sosial antar budaya, bukan tempat manusia bersaing dengan laju kapitalisme dan modernisme dalam wujud kehadiran kendaraan bermotor. Oleh karena itu, seluruh desain penataan kawasan perlu menjadikan manusia dan kebudayaan sebagai subyek dan tujuan penataan itu sendiri.

Meminjam istilah yang dipakai Umar Kayam dalam melukiskan bagaimana menikmati Jogja (1996), Malionoro harus lebih mat, yaitu Malioboro yang memberi ruang gerak yang lebih lamban, lebih nyeni, lebih manusiawi.

Karena hal itu terasa lebih nyaman, di mana orang tidak dipaksa untuk tergesa-gesa dan bersaing dengan waktu dan laju kendaraan bermotor. Malioboro harus nyaman dan bebas himpitan tekanan waktu agar bisa terjadi proses social encounter yang intens dengan cita rasa Jogja.

Malioboro harus ramah, aman, dan nyaman bagi pejalan kaki. Tempo kehidupan di kawasan itu harus diturunkan, diperlambat. Manusia, sepeda onthel, becak, andong, dan lain-lain diberi ruang lebih besar dan tertata lebih baik. Ini agar semuanya menyatu sebagai satu-kesatuan ekosistem dan budaya Jogja, bebas dari tekanan kecepatan, kebisingan dan polusi yang ditimbulkan oleh hingar-bingar kendaraan bermotor yang melintas di kawasan itu.

Secara konseptual sebuah tata kota yang baik selalu mengindahkan dan mengakomodasi kepentingan publik. Salah satu cara yang ditempuh adalah menjadikan suatu kawasan dari kota itu sebagai wilayah ruang publik yang aman dan nyaman.

Mengapa diperlukan kawasan pedestrian atau kawasan khusus bagi pejalan kaki? Oleh para perancang tata ruang dan tata kota, jalur pejalan kaki merupakan elemen penting dalam suatu rancangan tata kota. Bahkan jalur pejalan kaki adalah bagian dari sistem transportasi itu sendiri.

Ada kawasan atau titik tertentu dari sebuah kota yang tidak mudah diakses dengan mempergunakan kendaraan umum (linkage system) dan hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki. Oleh karena itu ruang untuk pejalan kaki (pedestrian) dan kepentingan para pejalan kaki tetap menjadi bagian penting dalam kerangka besar konsep perencanaan tata ruang sebuah kota

Tentu upaya mewujudkan kawasan Malioboro sebagai kawasan pedestrian telah didahului oleh berbagai kajian untuk memastikan terjaminnya hak dan kewajiban semua pemangku kepentingan di kawasan itu: kepentingan pelaku dunia usaha, kepentingan warga kota, kepentingan wisatawan, dan kepentingan pemerintah kota

Tanpa bermaksud menjadi terlalu romantis, kawasan pejalan kaki Malioboro sedikit banyak akan mengembalikan citra dan cita rasa kota ini ke masa lalu, masa di mana Malioboro menjadi saksi sejarah dengan sekuel gambar yang bergerak lebih lambat, lebih detil, dan menyajikan cerita yang lebih bermakna.

 

Rasa Budaya Di Malioboro Jogja

Mdigital

Berbagi materi informasi dan pengetahuan digital online

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *