Indahnya Saling Memaafkan

Indahnya Saling Memaafkan

Siapa di antara kita yang tak pernah melakukan kesalahan? Siapa pun kita pasti ada melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Tak pelak, manusia itu pulalah yang menjadi tempat “bersemayamnya” kesalahan. Tinggal lagi soal kualitas dan kuantitas kesalahan itu sendiri.

Soal kualitas, artinya menyangkut kadar atau berat, dan soal kuantitas menyangkut banyak atau seringnya Ada pun segala besaran kesalahan itu ada cara dan alamat penyesaiannya untuk seseorang memperbaiki agama.

Dalam konteks hubungan dengan Allah SWT secara vertikal, perbaikan diri untuk “melepas” kesalahan itu adalah melalui jalan pertaubatan, meminta ampun kepada-Nya yang disikapi oleh rasa penyesalan dan berdosa, lalu ditindaklanjuti dengan proses penghentian pekerjaan yang dipandang salah itu. kemudian melepas diri untuk tidak lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari.

Dalam pendekatan Islam, satu-satunya ‘pekerjaan salah’ yang tidak terampuni adalah berbuat syirik, yakni membandingkan sesuatu untuk disetarakan dengan Allah dan menjadi sesembahan. Menyekutukan Allah adalah perbuatan yang tak terampuni. Akan tetapi, kapankah seseorang itu berlaku syirik sehingga masuk dalam kategorisasi musyrik, agaknya patut ditinjau dulu.

Artinya, perbuatan syirik itu tidak serta merta bisa kita tempelkan pada setiap orang. Tatkala belum sampai pengetahuan tentang hal ihwal syirik sementara ia kadung melakukannya, maka tentu Allah Azza wa Jalla, memberikan tempat dan ruang bagi “si pelaku syirik itu” untuk diampuni.

Seseorang baru pantas dikatakan musyrik apabila ia telah mengetahui mana-mana saja batasan dan wilayah kemusyrikan itu. Di sinilah perlunya peran pengajaran agama yang merupakan besaran dari informasi ilahiah itu disampaikan. Maka para ustadz pun menyeru, bahwa tatkala seseorang telanjur berbuat syirik agar yang bersangkutan melakukan taubatan nasuha.

Adapun dalam soal kesalahan terhadap sesama manusia, maka Islam mengajarkan bahwa yang bersalah sejatinya terlebih dulu meminta maaf kepada orang yang menjadi tempat atau tumpuan dari kesalahan itu, barulah kemudian Allah SWT mengampuni kesalahan atau kekeliruannya itu.

Maka Al Qur’an pun memberitakan bahwa tatkala ada orang yang meminta maaf untuk memperbaiki kekeliruan yang pemali diperbuatnya, segeralah maafkan. Itu merupakan sikap kemusliman yang baik dan sejati. Seberapa pun besar kesalahan seseorang itu sehingga merugikan diri kita, misalnya.

Bukankah hukum qishash bisa jadi batal dilakukan terhadap si pelaku pembunuhan, manakala ahli waris dari orang yang dibunuh (keluarga korban) memberikan permaafan dan mengampuni kekhilafan sang pesakitan?

Begitulah keindahan dan kehebatan Islam. Sejarah juga mencatat, pada peristiwa perang salib dulu, ketika Raja Richard yang dikenal sebagai Lion Heart itu jatuh sakit, yang artinya dalam posisi yang amat lemah, lalu Shalahuddin Al Ayyubi, sang panglima, mengumumkan dengan meminta pasukan Islam yang dipimpinnya untuk menghentikan perang, memberi kesempatan sang raja agar sembuh dulu, baru nanti peperangan dilanjutkan.

Inilah salah satu karakter pergaulan hidup dalam Islam, senantiasa mendudukkan manusia dalam posisi yang setara, seimbang, dan tentu saja manusiawi. Tatkala seseorang bersalah, maka kata maaf atau pemaafan itu menjadi media penyelarasnya: meminta maaf, memberi maaf dan saling memaafkan yang menjadi tema ini tertradisikan dalam kontekslfha ber-Idul fitri sebagai medium bersilaturahim.

Adalah menarik ketika di masa lalu kita menemui sebuah “arus besar” kesalahan atau kekeliruan dalam kaitan kepemimpinan bangsa dan negara ini. Orang lalu tersuruk ke dalam lembah kebingungan dan hidup dalam serba salah: Lahirlah rejim kekuasaan yang di pandang miring oleh orang-orang kemudian, yang saat itu tak seorangpun memiliki daya untuk “mengubah keadaan”.

Ketika situasi terbalik, fase yang berlangsung pun telah berubah, dan orang yang dipandang bertanggung jawab menjadi begitu amat lemah, kita lalu dihadapkan pada posisi: menghukum atas segala kesalahan atau memaafkannya dengan lapang dada atas alasan kemanusiaan. Maka mungkin kurang pas, tapi nukilan Al Qur’an Surat Shaad ayat 24 ini ada baiknya untuk dicamkan:

“Daud berkata: sesungguhnya dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya, Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagaian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, dan amat sedikitlah mereka ini. Dan Daud mengetahui bahwa Kami mengujinya, maka ia meminta ampun kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat”

 

Indahnya Saling Memaafkan

Recommended For You

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *